This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
Picture
ZIARAH SUNYI BUAT SANG 'BINATANG JALANG"

Lelaki bertubuh kurus, dengan rokok yang selalu menempel di jari tangannya. Berdiri di tepi telaga, membiarkan matanya lepas menjangkau langit di awal pagi. Disanalah ia biasa menebar keluh, dan berkompromi dengan pedih, lewat caranya sendiri,  yang teramat sederhana.      

"Aku sudah kehabisan kata-kata !"Demikian keluhnya pada telaga, yang tetap diam dalam heningnya. Embun yang menggayut di pucuk-pucuk ranting cemara, hanya bisa ternganga, mencemaskan matahari yang mulai menggeliat, membuka hari yang kian tak berarti.

         "Mesti lewat cara apa lagi,aku ...bertanya !?"  Demikikian igaunya, pada punggung bukit, yang telah mulai kehilangan pesonanya. Sementara beberapa ekor burung yang lewat, hanya melirik sesaat. Lalu bergegas pergi, meninggalkan sunyi, untuk mengejar sesuatu yang tak pasti

          "Aku sudah... sampai pada ujung batas sabar !" Dia menjerit, pada angin, yang  terus menari, mengitari bibir ngarai. Mengekalkan jemu, di kedalaman lembah yang pasrah di pagut sepi .

         " Aku mau  pergi !". Teriaknya !. Lelaki bertubuh kurus, dengan rokok yang selalu menempel di jari tangannya, mengerang. Mengerahkan tenaga terakhir yang tersisa. Urat di lehernya, menegang, membentangkan peta luka, tentang kesia-siaan yang tak terkatakan. Hanya sekawanan burung Nazar, yang kemudian datang bergerombol, menangkap isyaratnya. Mengerubuti tubuhnya, mencincang dari segala penjuru arah. Kemudian membawa pesan terakhirnya pergi, ke suatu tempat, dimana angin pun tak pernah dapat mengenalinya .

            Sekelompok kabut, yang sedang baik hatinya, lantas menjulurkan tangannya, membasuh seluruh bekas lukanya, lalu membiarkan, Lelaki bertubuh kurus, dengan rokok yang selalu menempel di jari tangannya, memperpanjang nafasnya. Menyemaikan benih-benih mimpinya, di padang-padang kering, yang tak pernah di sentuh basah.

             Dipuncak pengharapannya. Gerimis luruh, di lembut pangkuan bunga mimpinya. Di sana, dia biasa menanti. Lilin dinyalakan disetiap malam tiba. Lalu di balik kerlip cahayanya, garis hidupnya terlihat semakin mengusam. Menjelaga bagai gigil yang tak lagi mampu mengenali getarnya .

           “ Diantara angin, yang berebut, menuruni lereng bukit !, Aku dengar suaramu hadir. Jauh di sana!, di ujung batas pengharapan hati. Malam ini, hujan pun turun, bersama kabut. Dan mungkinkah, suaramu, akan jua sampai di sini !,… Ayati ! “, dia melengkingkan sebuah nama. Lalu rindu pun bergumul, memberi jejak pada rumput, melukis mimpi dengan bahasanya sendiri. 

            Pada setiap wajah, yang sudah tak di ingat lagi ,lekuk-lekuk garisnya. Pada setiap nama, yang tak mampu lagi di eja  garis katanya , Pada setiap hati, yang tak dipahami lagi getar sangsinya. Pada setiap jiwa, yang pernah memberi tempat bagi asa nya untuk menyala. Kini, disini,  di akhir sisa langkah yang sedang di ayunnya. Sebuah puisi tentangnya terkubur , Di timbuni ribuan kata , yang entah kapan , akan terungkap maknanya.  Kemarau yang basah, membawa sisa –sisa gerimis, mengecupi  gumpalan rindu, Yang melepuh di bakar waktu.

            Di ujung batas pengharapan. Angin masih saja berlari, menemani sosok lelaki bertubuh kurus, yang tergila-gila pada Slaerhoff. Senja mulai membayang, tapi semburat warna lembayung, tak jua mampu mengubah warna matanya yang semakin merah menyala.

           “ Untuk semua Luka !, aku tak akan lagi kehilangan lupa!”. Demikian sumpahnya. Lalu Air mengajarinya, untuk memaknai betapa indahnya melawan arus. Seperti yang sedang dia lakukan kini. Membiarkan masa depannya tergadai, demi sebuah idealisme yang tak banyak orang perduli untuk memahaminya.

           Lelaki bertubuh kurus, dengan rokok yang selalu menempel di jari tangannya. Datang malam itu, mengetuk perlahan pintu hati, yang selalu lupa untuk ku kunci. “ Namaku Binatang jalang !, Aku datang , bersama seribu mimpi yang belum jadi !”. Keluhnya. Itu kata pertama dan terakhir ku dengar darinya. Sebelum dia rubuh. Tubuh kurusnya, tergeletak kaku, disamping sajak terakhirnya yang belum selesai. Ketika malam telah sempurna gelapnya. Hanya hati yang bisa menatap segala jejak. Lalu angin mengurai garis wajahnya, serupa siluet, yang terlalu samar, bahkan untuk hanya sekedar jadi bahan  kenangan.

Cimahi, 28 April 2012.


 
Picture
SUTARJI CALZOUM BAHRI ; PRESIDEN PENYAIR YANG KONTROVERSIAL.

Meminta ijin kepada ketua Jurusan dan Dekan, untuk mendatangkan  Sutarzi calzoum Bahri, ke kampus IKIP Bandung pada sekitar taun 1980-an. Bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Sikap kontroversial Sutarji lah, yang menjadi kendalanya. Kebiasaannya yang nyleneh, merupakan sebuah kendala utama, yang menjadi bahan peredebatan  yang sengit ketika saya harus meyakinkan Ketua Jurusan, terkait dengan rencana mendatangkan Sutarji dalam acara Haul Chairil Anwar di tahun 1985.

Sutarji benar-benar sangat fenomenal saat itu, dia hanya mengenakan sandal dan baju yang lusuh, ketika kami menjemputnya dari Bandara Husen Sastranegara.  Disepanjang perjalanan dari  bandara- menuju Kampus. Lebih banyak di isi dengan diam, wajahnya nampak kusut, rambut gondrongnya yang sedikit agak keriting , dibiarkan berhamburan, di hantam angin, yang masuk lewat jendela mobil yang sengaja di bukanya.

Tiba di depan pintu gerbang kampus IKIP Bandung, dia meminta kami, untuk beristirahat sejenak, di taman kolam depan Bumi Isola. Mimik mukanya nampak demikian bergairah melahap tandas, pemandangan yang ada di depan matanya. “ Kampus Yang Indah ..!”, sebuah kalimat pendek,  akhirnya keluar juga, dari mulutnya yang sangat kikir dalam berkata-kata.

“ Di Jakarta !, Abang tinggal dimana !? “, akhirnya pertanyaan, yang lebih layak disebut sebagai sebuah  basa-basi, aku coba keluarkan. Untuk sekedar mencairkan suasana yang terasa sangat aneh.

“ Tinggal ?, kamu nanya alamat saya ? “ Dia balik bertanya?. Aku cepat mengangguk.

“ Alamat saya …? . Kalau tidak salah …. ! ( lalu dilanjutkan dengan  menyebutkan sebuah alamat di Jakarta , dengan kalimat yang terputus-putus). Yang paling aneh, dia menjawab dengan tidak pernah memindahkan wajah dan pandangannya dari kolam yang di kaguminya.

Jawabannya yang demikian tak  “bergizi”, membuat saya tahu diri, untuk tidak lagi mengganggu keasyikannya. Menatap ikan-ikan yang lalu lalang di hadapannya.

Menyeruak diantara para Mahasiswa yang memenuhi Gedung Aula Barat. Sutarji berjalan tenang hampir tanpa ekpresi, beberapa tangan yang mengajak salaman , tak satupun yang di balas. Sosok yang begitu dingin, bahkan ketika melewati para dosen yang duduk di jajaran kursi terdepan, Sutarji tak menolehkan muka sama sekali. Ia langsung menuju meja di depan, duduk, lalu menebarkan pandangan dengan  sorot matanya yang misterius.

Sutarji meneguk meneguk air yang berkadar alkohol rendah  . Sebelum mulai memberikan ceramah, dengan kualitas logika yang menawan. Sangat menarik memang, ketika bunyi sendawa kerap terdengar diantara kalimat-kalimat yang ia lontarkan, memancing para pendengar untuk bertepuk tangan.

Acara pembacaan puisi adalah, saat yang paling di nanti. Kalau Sutarji di kenal sebagai penyair yang sangat memahami aspek pembacaan puisi, dia benar-benar telah membuktikan hal itu. Penampilan Sutarji benar-benar sangat memukau. Beberapa Puisi karyanya sendiri, dibawakan dengan sangat ekpresif. “ Mesin kawin”, merupakan puisi yang paling mendapatkan apresiasi dari pendengar.

Sehari bersama Sutrarji, di Kampus Bumi Siliwangi di tahun 1985. Merupakan pengalaman yang paling mengesankan, bagi siapapun yang mencintai dunia perpuisian. Kita telah berkesempatan secara langsung berhhadapan dengan sosok, yang paling berpengaruh di dunia perpuisian Indonesia. Terlepas dari sipatnya yang kontroversial ( pada saat itu ). Sutarji tetaplah Sutarji. Pribadi yang sangat menarik, dan patut menjadi inspirasi dalam hal proses berkreatifnya.


This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 
This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
Picture
CHAIRIL ANWAR,DALAM KENANGAN
                     ( Ahmad Yani)

“ Untuk semua Luka !, aku tak akan lagi kehilangan lupa!”. Demikian sumpahnya. Lalu Air mengajarinya, untuk memaknai betapa indahnya melawan arus.

Seperti yang telah di lakukan di sepanjang hidupnya. Membiarkan masa depannya tergadai, demi sebuah idealisme yang tak banyak orang perduli untuk memahaminya.
Lelaki bertubuh kurus, dengan rokok yang selalu menempel di jari tangannya.


Datang malam itu, mengetuk perlahan pintu hati, yang selalu lupa untuk ku kunci. “ Namaku Binatang jalang !, Aku datang , bersama seribu mimpi yang belum jadi !”. Keluhnya.

Itu, kata pertama dan terakhir ku dengar darinya. Sebelum dia rubuh. Tubuh kurusnya, tergeletak kaku, disamping sajak terakhirnya yang belum selesai.( Dia Mati muda, 973 tahun lebih cepat , dari umur yang di impikannya !).

Ketika malam telah sempurna gelapnya. Hanya hati yang bisa menatap segala jejak. Lalu angin mengurai garis wajahnya, serupa siluet, yang terlalu samar, bahkan untuk hanya sekedar jadi bahan kenangan.
 

Cimahi, 23 April 2012



 
Picture
NGALANGLANG KARYA GODI SUWARNA
( Oleh : Ahmad Yani )

" Godi Suwarna adalah sosok sastrawan Sunda, yang sangat fenomenal dan menempati tempat yang sangat khusus di hati masyarakat  pencinta sastra Sunda. Kehadirannya di jagat Sastra Sunda, demikian sangat mengesankan, Dia telah berhasil menancapkan Tonggak Kepengarangannya yang di akui sangat penting. Gaya dan  kedalaman makna tulisannya yang khas dan memukau, menyajikan nuansa yang sangat berbeda dengan para penulis sunda lainnya yang telah lebih dahulu hadir" . Demikian kesan yang disampaikan Oleh Aam Amelia ( Salah seorang Redaktur Majalah Sunda Mangle) ketika memberikan komentarnya, terkait dengan Proses Kepengarangan Godi, yang disampaikan pada acara "Ngalanglang Karya Godi Suwarna" yang di gelar pada hari senin malam, tanggal 23 Mei 2011, di Gedung Rumentang Siang Bandung.

Lebih Lanjut Aam Amalia, mengisahkan bahwa , " Kalangkang Budah ", cerpen pertama Godi,yang dikirim ke Majalah Mangle di sekitar tahun 80-an, benar-benar sangat mengejutkannya, Mengingat sulit dibayangkan seorang pengarang muda pada saat itu, mampu mengangkat sebuah tema tulisan yang sangat filosofis dan "matang ", dengan gaya tutur dan pilihan kata yang sangat mencengangkan .

Berjubelnya para pengunjung yang sangat antusias menyaksikan acara Pagelaran ini, yang melewati kapasitas bangku yang tersedia, merupakan bukti yang tak terbantahkan, betapa eksistensi seorang Godi Suwarna sebagai seorang penyair sunda papan atas memang tak dapat dipungkiri oleh siapapun . Kehadirannya bagai magnet yang mampu membuat para pengunjung lupa bahwa senin malam itu, bumi Bandung tengah di guyur hujan walau memang tidak terlalu besar .

Berjubah warna putih ,lengan panjang ,dengan variasi rompi warna merah ati , serta Sarung Kotak-kotak, Godi mampu mencuri setiap hati bagi setiap yang datang. Rambut panjangnya yang berkilau keperakkan, serta senyum renyahnya yang selalu ditebar, memberikan kesan Kondisinya sangat sehat , dan sangat berhasil menikmati hidupnya. Batang rokok rupanya tetap masih menjadi sahabatnya sejak dulu. Dia masih setia menyelip disela-sela jari-jari tangan kirinya , banyaknya orang yang bersalaman yang menyebabkan sang rokok masih tetap aman dan tak sempat dibakar . Yang berbeda dari Godi adalah  pada matanya , sekarang terlihat lebih " jinak" , tidak segarang 25 tahun yang lalu,yang terlihat setajam elang dengan rona yang memerah .

Duduk dibarisan para apresiator, sepintas aku melihat, Taufik Faturrahman, Acep Zam Zam Noer dan Ahda Imran , kemudian agak belakangan Kang UU Rukmana pun muncul dan duduk di bangku depan di bagian kiri. Selebihnya pengunjung lebih didominasi oleh para kawula muda,yang terlihat sangat antusias, bahkan mereka yang tak kebagian kursi, dengan ikhlas duduk bersila di lantai bagian depan Gedung Rumentang Siang .

Tepat pukul 19.30, acara di buka, mengalir lancar jauh dari kesan basa-basi, tak ada satupun acara yang bersifat protokoler, karena tak seorang pun memberikan kata sambutan dalam acara pagelaran ini . Rupanya Godi yang menginginkan hal ini, karena aku yakin Godi merupakan sosok yang sangat tidak menyukai "basa-basi murahan ".

Kelompok Puisi Musikal adalah paket pertama yang muncul membuat Panggung yang tertata anggun, berubah menjadi magnet kuat yang mampu menyedot penonton dengan penampilannya yang memikat .Selanjutnya ,Pembacaan Cerpen "Kalangkang Budah" menghadirkan Nuansa Getir,yang asyik di apresiasi penonton sambil berpikir, Muatan-muatan dialog yang syarat makna antara tokoh Sangkuriang dan Oedipus, membawa seluruh pengunjung Gedung Rumentang Siang, terperangkap dalam senyap, Penampilan Sang pembaca Cerpen yang tampil total dan sangat ekpresif , menjadikan acara pembacaan Cerpen "Kalangkang Budah " ini, layak untuk disebut sebagai mata acara yang paling berhasil mengekpresikan Situasi Batin Godi Kepada para pengunjung .

Uraian tentang perjalanan karir Godi suwarna ,yang memuat gambaran kehidupan masa kecil dan kisah jatuh bangunya dalam proses "berkeseniannya", diurai cukup lengkap,melalui komentar dari keluara terdekat dan para sahabatnya sesama para seniman ,yang dapat di ikuti pengunjung melalui tayangan di layar lebar,dibelakang panggung.Mereka yang memberikan komentar dan kesaksian tentang Godi diantaranya,Yuniarso ridwan,Heri Dim,Tisna Sanjaya, Wawan Husein,Kang Taufik Faturrahman,Acep Zam-Zam Noer,Aam Amelia dan beberapa seniman lain ,yang nada komentarnya hampir sama ,memandang bahwa Godi adalah seniman langka yang kehadirannya merupakan berkah yang tak ternilai bagi perkembangan sastra Sunda khususnya dan Sastra Indonesia pada umumnya.

" Nu boga lalakon mah biasana oge ,datang pang pandeurina " . Demikian Kalimat pertama yang ditebar Godi,yang disampaikan secara jenaka ,pada saat ia muncul di panggung di bagian akhir acara .

" Nu muncul tadi mah ! , penjahat ,  tah ...ieu ..nu boga lalakon sabenernamah !! " demikian Godi melanjutkan kalimat jenakanya yang terasa sangat cair ,tidak memberikan jarak hati kepada penonton .

" Kuring lahir tanggal 23, bulan Mei ! ... Tapi taun 1956 na mah ku kuring moal disebutkeun ! , meh ..loba nu nyangka kuring masih ngora ! ...he he he ! ". Kalimat Godi yang lucu ini ,lansung mendapat tepuk tangan emuruh dari pengunjung.

Sangat mengejutkan sekaligus mengagumkan ,Godi mampu tampil secara rileks ,dan Sangat menghibur, banyolannya terasa konyol tapi demikian Cerdas karena tak ada kesan di buat-buat , seakan lahir dari hatinya yang terdalam,sebagai pencerminan dari pribadinya yang memang sudah berhasil menggenggam rahasiah hidup dan menjalaninya dengan sangat enteng .Tak semua penyair mampu membaca puisi dengan baik , tapi bagi Godi itu suatu kekecualian .Godi masih sangat Garang ,dan penjiwaannya masih sangat utuh bahkan terasa lebih gila dari yang pernah aku lihat 25 tahun yang lalu.

Tayangan di layar lebar,dipenghujung acara,yang menampilkan sosok Godi ,tengah berada di Areal Pemakaman Keluarga ,sungguh merupakan suatu kejutan ,yang tak terdua-duga.

" Tah ...di dieu ..sigana ...akhir perjalanan hirup kuring teh ..., Ah ...kuring mah ,rek milih dijuru belah ditu ..tuh ,dihandapeun tangkal kai nu iuh ..., ngan omat kuring amanat  kasararea , kuring hayang ...di pangmahatkeun Sajak "Cikaracak " di luhurun makam kuring , ...awas mun teu dilaksanakeun ...ku kuring rek di cekek !!! He he he !! " Godi masih mengumbar humornya , tapi kalimat yang terakhir ini terasa demikian getir, Sungguh religius seorang Godi , karena di balik perjalanan hidupnya yang sangat "Gelisah" ,dia tetap menyadari tentang kefanaannya. Kemudian sikap pasrahnya dalam menanti maut , merupakan ungkapan sikap santun yang mendalam,terhadap ketidak berdayaannya terhadap kuasa sang Maha Pencipta.

Waktu telah menunjukkan pukul 21.30 , dua jam bersama "Ngalanglang Karya Godi Suwarna" sungguh menjadi tak terasa.Ada suatu perasaan yang berat ketika Godi mengucapkan salam perpisahan dari atas panggung .Tak dapat dipungkiri bahwa acara ini demikian sangat berkesan bagi kami.Kami ...salut padamu Kang Godi , teriring pesan ...tetaplah berkarya , dan hiasi Langit Satra Sunda ini, dengan torehan-torehan karyamu ,yang akan semakin bertaburan menjadi bintang yang berkelip indah , sebagai motivasi bagi para kawula muda para penerusmu ,untuk tetap setia menjadikan karya sastra sebagai media ekpresi yang akan mengindahkan rasa .

Pintu Barat Kampus Unjani ,Cimahi

Selasa ,24 Mei 2011



 
Start blogging by creating a new post. You can edit or delete me by clicking under the comments. You can also customize your sidebar by dragging in elements from the top bar.