“PASAR ,MATI PAGI INI !”

(POTRET KEBERPIHAKAN PADA KAUM MARJINAL,SEBUAH PUISI KRITIK SOSIAL, YANG  DISAMPAIKAN DALAM SUASANA SENDU !.)

Membaca karya-karya Feriyanto Arif  ,seperti sedang menikmati pelangi di pagi hari.Beragam tema hadir menjuntai ,menggelitik hati ,menggiring imajinasi terbang  jauh menjelajahi ruang-ruang makna yang tak berbatas.Akhir-akhir ini ,Arif sepertinya  sudah merasa tidak begitu betah ,terjebak dalam bilik polemik yang mengekploitir   seputar perasaannya . Seperti Elang ,dia mencoba melesat ,terbang ,mencari daerah – daerah petualangannya yang baru ,lengkap dengan segala resiko tak terduga yang mungkin akan ditemuinya . Ketika sebuah puisi sepakat dimaknai sebagai sebuah Ekpresi hati dari sipenulisnya .Hal ini menyebabkan ,Serangkain  petualangan untuk bercumbu dengan seribu pengalaman  ,menjadi sebuah harga mahal ( namun mengasyikkan !)  yang harus dibayar oleh seorang penulis untuk keluar dari predikat seorang pengexploitir kata yang tanpa rasa.Sejatinya memang setiap penulis harus bertanggung jawab terhadap setiap hurup ,dan kata dari yang dituliskannya.Karena kata-kata itu pula yang akan memberi tahu kepada pembaca tentang seberapa intens penulis bergulat dengan dirinya , sebelum kata – kata itu terlahir. Terkait dengan  kredo tersebut ,Cukup bijak untuk kita renungkan sebuah statemen dari Acep Zamzam Noor,yang termuat dalam tulisannya yang berjudul Sepotong Senja ,yang mengulas tentang pentingnya membenamkan diri dalam proses kontemplatif yang serius sebelum menulis sebuah puisi :

“ Bagiku !, kesepian belum cukup ,untuk lahirnya sebuah Puisi !, Sebab kita belum cukup terbakar dalam Panasnya api ! “.( Acep Zamzam Noor , dalam Sepotong Senja ).

 

PASAR,MATI PAGI INI !

(catatan seorang pengasong, untuk Bani Brahmantyo dan pak dhenya, Ahmad Yani)

Hanya sepi memagut

dari lorong-lorong gelap kumuh

... dan cicit tikus

kurus lemah gontai berjlan tak tentu

lapak-lapak tunduk terdiam

dalam bisu yang luruh

rindu akan ramai yang kemarin

sementara preman-preman

dan bromocorah bertato

sengguk menangis

dalam gelimang bau spritus dan mulut berbusa

tak ada lagi kini, peluit parkir

tak ada lagi kini, jerit minggir-minggir

kuli angkut barang

lantang meminta jalan

lalu apa ?

sementara doa-doa tak lagi makbul

dan bau kemenyan dukun

tak mampu mengundang pembeli

pasar mati pagi ini

teronggok tak berkubur

menunggu harapan kian mengabur

terhisap bangunan-bangunan tinggi "makmur"

sialan !

tak ada lagi obyekan.

fa, 28092011

Pasar ,Mati Pagi ini !, merupakan sebuah puisi Arif , yang hadir di BMK ,dan memuat nama saya di belakang judulnya . Busyettt ! , embel-embel itu pula, yang menyebabkan saya,merasa harus menulis ulasan ini , untuk sekedar tidak disebut , manusia yang tak kenal rasa terima kasih …he he he !!.

Seperti telah diulas dimuka ,pada puisi ini , Arif sudah meninggalkan “Sikap melankolisnya” melepaskan diri dari tema cinta ,( walau mungkin hanya bersifat sementara ?).Pasar ,Mati Pagi Ini !, memuat tema Sosial , walau suasana yang diciptakannya masih terasa “ bernuansa sendu” cukup kontradiktif dengan bagaimana Rendra berteriak secara langsung lewat puisi-puisi Pampletnya seperti tergambar jelas  dalam kumpulan puisinya “ Potret Pembangunan dalam Puisi “. Namun mungkin ,justru gaya ini pula lah yang tengah di bangun Arif , bukankah kritik tak selamanya mesti diungkapkan dengan Urat leher yang menegang ?  Atau bisa juga ,Arif belum bisa sepenuhnya menghilangkan tradisi lembut dari “Seorang Priyayi Solo “ yang telah menelikung jiwanya bertahun-tahun ! ( he he !!).

Mengamati bangun struktur puisi yang dibentuknya , ada sebuah benang merah yang tak terpisahkan antara “Pasar ,Mati Pagi ini “ dengan puisi sosial sejenisnya yang dia tulis beberapa waktu yang lalu yaitu “ Secangkir Kopi Jakarta Yang Telengas “. Dimana bait –bait puisi seolah sengaja terangkai dalam tatanan yang sama , bermula dengan  kesan umum  terhadap tema yang diangkat ( Bait 1 ) , illustrasi-illustari tambahan yang membuat pembaca lebih terperangkap masuk dalam suasana  yang di bangunnya ( bait 2 dan 3 ), pengungkapan fakta-fakta social yang terjadi sebagai konsekwensi dari adanya hubungan kasualitas ( bait 4 ), Pertanyan-pertanyaan  Retoris , yang kian membuat pembaca larut dalam topik permasalahan ( bait 5 ) ,dan Bait terakhir ( Bait 6 ) ,mengakhirinya  dengan Kesimpulan , yang memberikan setumpuk pekerjaan rumah bagi pembaca untuk kembali mengunyah dan memamah terhadap amanat yang dititipkan sang penulis .

Fenomena tergusurnya ribuan pasar tradisonal yang tersebar diseantero negeri ini ,memang bukanlah pemandangan yang baru .Hal ini sudah terjadi sangat lama , seiring dengan semakin “mesranya” hubungan dunia Industri kita dengan “Faham Kapitalis dan Liberalisme “. Tapi anehnya Kebijakan yang sangat kontradiktif dengan kepentingan kaum marjinal ini , seolah-olah luput dari perhatian banyak fihak.padahal  tak dapat dipungkiri tergerusnya pasar-pasar tradisonal tersebut tidak saja telah membumi hanguskan mata pencaharian para kaum pedagang bermodal kecil , namun juga telah memotong urat hidup sebuah system peradaban yang yang telah lama menjadi jati diri Bangsa kita.

Menjadi menarik memang, ketika Arif Feriyanto , lantas jatuh cinta dan tergerak untuk mengangkat tema social ini dalam sajaknya “ Pasar,Mati Pagi Ini “  ketajaman “mata elangnya” ,untuk mencoba memahami situasi kaum marjinal , merupakan sebuah oase di tengah ketidak kepedulian para penyair lainnya  yang terlanjur  lebih gemar memotret tema-tema “Spektakuler “  yang menarik untuk menjadi bahan polemik tak berkeputusan di berbagai media masa.

Hanya sepi memagut //dari lorong-lorong gelap kumuh//dan cicit-cicit tikus//kurus lemah gontai berjalan tak tentu //lapak-lapak tunduk terdiam//dalam bisu yang luruh//rindu akan ramai yang kemarin//

Betapa apik ,feri memilih diksi ,dibait pertama dan keduanya , yang langsung menyergap hati pembaca  untuk masuk dalam  suasana “Sendu”,tentang sebuah pasar tradisonal yang di paksa hilang ,untuk sebuah maksud yang tak sempat dimengerti oleh mereka yang selama ini menggantungkan hidup dan nasib kepadanya.Tak ada satu katapun dalam bait ini,yang mengekpresikan adanya suatu bentuk perlawanan terhadap sikap kesewenang-wenangan  yang menimpa mereka .Mereka hanya mampu mengungkapkan sebuah kata rindu ,//rindu akan ramai yang kemarin // ,sebuah kalimat ,berisi harapan yang memang menggambarkan suatu sikap ketidak berdayaan yang sempurna.

Sementara preman-preman//dan bromocorah bertato//sengguk menangis//dalam gelimang bau spirtus dan mulut berbusa// tak ada lagi kini peluit parkir//tak ada lagi kini jerit minggir-minggir//kuli angkut barang//lantang meminta jalan//

Di bait yang ketiga dan ke empat ini , Arif ..seperti sedang menghidangkan serangkain fakta ,tentang betapa banyak ragam manusia marjinal  yang dengan terpaksa ,harus rela  memutuskan urat nadi kehidupannya .( Baca : Tanpa Mampu mengadakan sebuah perlawanan !).Diksi yang dipilih penulis ,sangat terjaga , itu ,semua itu benar menggambarkan manusia-manusia yang tak berdaya .Hanya menumpang menyambung kehidupan pada eksistensi pasar , dengan mimpi-mimpi yang teramat bersahaja .

Lalu apa?//sementara doa-doa tak lagi makbul//dan bau kemenyan di luar//tak mampu mengundang pembeli//Pasar ,mati pagi ini//teronggok tak terkubur//menunggu harapan kian mengabur//terhisap bangunan-bangunan tinggi makmur//.

Kepada siapa sebetulnya ,arif bertanya ? , ketak adaan obyek yang ditanya, kian memperjelas ,tentang betapa tak ada satu lembaga pun yang mau perduli tentang fenomena yang terjadi .Bahkan doa pun sebagai satu-satunya senjata bagi para kaum tertindas , seolah dengan tegas di sangsikan tuahnya . Keadaaan pasar yang dilukiskan penulis dengan kalimat // teronggok tak terkubur // sungguh sangat dalam maknanya , karena kalimat itu merefleksikan betapa Sang Penguasa telah demikian tega , membiarkan mereka hidup dalam sebuah “ ketidak pastian” yang menakutkan .

// Sialan// tak ada lagi obyekan //, sebuah baris penutup, khas Arif , yang mencoba menyederhanakan masalah , dalam balutan kalimat-kalimat satire yang  sedikit “Nyleneh”,Namun  justru  semakin lebih membuat dalam  luka sayatan yang ada dalam hati .

Cimahi , 28 September 2011

 

 
MEMOTRET WAJAH JAKARTA LEWAT TEROPONG " SECANGKIR KOPI JAKARTA YANG TELENGAS " Karya : FERIYANTO ARIEF

oleh Ahmad Yani pada 12 September 2011 jam 14:24

Jakarta  masih jua bertahan ,jadi tumpuan ladang pengharapan ,bagi sebagian besar para kaum marjinal negeri ini ,yang terlanjur prustasi menyemai mimpi di ladang-ladang sempit tanah kelahirannya .

Ironisnya ,Jakarta tidak hanya  sekedar menawarkan seribu mimpi, namun Jakarta juga telah terlanjur  tercipta jadi muara fakta bagi semakin merebaknya  berbagai jenis proses “ Dehumanisasi “, “Demoralisasi” dan “Degradasi “ Moral Bangsa  , yang  statistiknya bergerak semakin meningkat baik ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya .

Tetapi mengapa banyak orang yang seakan tak pernah mau peduli ? Menafikan serta memandang enteng terhadap fakta-fakta miris yang telah terbeberkan .Atau memang  benar alas an  lugu mereka yang mengatakan bahwa “ Rasa Lapar di atas segala-galanya “ .

Memotret wajah Kota Jakarta ,lewat teropong “ Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ karya Feriyanto Arif , merupakan sebuah upaya pencerahan yang bernuansa sangat “Kontemplatif” .Seakan telah merasa Lelah yang mengarah Jengah , Arif mencoba menyembunyikan rentang urat lehernya dalam  menyampaikan Visinya , namun ia lebih memilih “ mendesah “ mencoba pengetuk perlahan pintu hati pembaca ,lewat kalimat-kalimat padat makna ,yang dibungkus dengan metaphora sederhana yang akrab di telinga orang kebanyakan .

Pada  bait ke-1 ( dari 5 bait puisi yang ditulisnya ) , Gambaran Skeptis penulis ,tentang moral penduduk Jakarta ,yang sudah sangat jauh dari ‘Aspek Kejujuran “, terekam manis lewat  baris-baris kalimatnya  yang bernada Ironi . // senyum ramah ,begitu saja mudah ditawarkan//Sapa sopan mengoyak lamunan//Silakan kopinya  Tuan//Badan membungkuk tangan mencakung//Setumpuk Koran kabar kosong sigap ditawarkan //. Betapa di kehidupan Jakarta , bahasa sudah menjadi suatu barang mainan , ketulusan telah terkubur ,sopan santun hanyalah sebuah rekayasa dalam upaya menguasai petak-petak wilayah kehidupan yang dengan buas diperebutkan . Hampir  Tak ada lagi yang bisa di percayai disana karena  kita hanya ditawari setumpuk koran dengan berita yang kosong .

Seakan ingin mempertegas  pandangannya tentang Jakarta , pada bait ke-2 , penulis mengawali  baitnya dengan kalimat // Ini dunia lain // , sambil mengupas secara dalam , masalah- masalah yang sangat Substantif tentang hakekat kehidupan . // Mencangkul nasib sawah  tak bertanah // Pinggiran hutan belantara tak berdaun // , di bait ke dua ini , penulis mencoba memaparkan sebuah paradok , tentang dua sisi kehidupan yang sangat kontradiktif , antara kehidupan “yang memegang teguh budaya luhur “ di kampong-kampung , dengan “ Nuansa kehidupan Kota Jakarta “ yang benar-benar telah kehilangan semangat kemanusiaannya .

Kehidupan di Jakarta , tak ubahnya sebagai sebuah dongeng , yang menjerat para pendatang ,untuk membiarkan dirinya luruh dalam jebakan mimpi yang Utopis .Penulis bahkan sudah demikian sangat skeptis , untuk tidak lagi mempercayai  seluruh hirarki kemasyarakatan  yang ada , yang seluruhnya dianggap telah turut terkontaminasi , // Raja , Mentri , Hamba sahaya ,semuanya berwajah sama // ,

Seakan hendak mempertanyakan tentang  tujuan dari para pendatang , penulis membuat sebuah kalimat retoris ,yang di jawab nya sendiri di bait ke 4.// lalu apa ? // Tak Ada // Harapan sudah lama pergi lewat kapal terakhir// bahkan mimpi-mimpi hanyalah minuman yang tersaji di secangkir kopi //

“Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ ,karya Feriyanto Arief , telah memuat demikian banyak amanat , untuk mengajak berpikir bagi siapapun yang berniat mendatangi Jakarta . Namun seperti halnya kasus-kasus kehidupan yang lain , banyak kendala yang menyebabkan sebuah amanat jadi tak sampai .Demikian lebarnya jarak pemikiran antara penulis dan masyarakat awam kita , menjadi salah satu masalah besar yang harus segera di carikan solusinya . Agar puisi ini mampu mencapai tujuannya .

// Nikmati saja //artificial sajian tegur sapa // hangat kopi // sejuk pagi //.sangat disayangkan ,bait terakhir dari puisi ini pun , seakan menggambarkan bahwa penulispun tengah did era lelah .

Cimahi , 12 September 2011

(Tulisan Sederhana , untuk sekedar bertanggung jawab ,terhadap 3 buah punting rokok,yang di hisap

Agar tidak menjadi sia –sia !.)

 
 “PASAR ,MATI PAGI INI !”

(POTRET KEBERPIHAKAN PADA KAUM MARJINAL,SEBUAH PUISI KRITIK SOSIAL, YANG  DISAMPAIKAN DALAM SUASANA SENDU !.)

Membaca karya-karya Feriyanto Arif  ,seperti sedang menikmati pelangi di pagi hari.Beragam tema hadir menjuntai ,menggelitik hati ,menggiring imajinasi terbang  jauh menjelajahi ruang-ruang makna yang tak berbatas.Akhir-akhir ini ,Arif sepertinya  sudah merasa tidak begitu betah ,terjebak dalam bilik polemik yang mengekploitir   seputar perasaannya . Seperti Elang ,dia mencoba melesat ,terbang ,mencari daerah – daerah petualangannya yang baru ,lengkap dengan segala resiko tak terduga yang mungkin akan ditemuinya . Ketika sebuah puisi sepakat dimaknai sebagai sebuah Ekpresi hati dari sipenulisnya .Hal ini menyebabkan ,Serangkain  petualangan untuk bercumbu dengan seribu pengalaman  ,menjadi sebuah harga mahal ( namun mengasyikkan !)  yang harus dibayar oleh seorang penulis untuk keluar dari predikat seorang pengexploitir kata yang tanpa rasa.Sejatinya memang setiap penulis harus bertanggung jawab terhadap setiap hurup ,dan kata dari yang dituliskannya.Karena kata-kata itu pula yang akan memberi tahu kepada pembaca tentang seberapa intens penulis bergulat dengan dirinya , sebelum kata – kata itu terlahir. Terkait dengan  kredo tersebut ,Cukup bijak untuk kita renungkan sebuah statemen dari Acep Zamzam Noor,yang termuat dalam tulisannya yang berjudul Sepotong Senja ,yang mengulas tentang pentingnya membenamkan diri dalam proses kontemplatif yang serius sebelum menulis sebuah puisi :

“ Bagiku !, kesepian belum cukup ,untuk lahirnya sebuah Puisi !, Sebab kita belum cukup terbakar dalam Panasnya api ! “.( Acep Zamzam Noor , dalam Sepotong Senja ).

 

PASAR,MATI PAGI INI !

(catatan seorang pengasong, untuk Bani Brahmantyo dan pak dhenya, Ahmad Yani)

Hanya sepi memagut
dari lorong-lorong gelap kumuh
... dan cicit tikus
kurus lemah gontai berjlan tak tentu
lapak-lapak tunduk terdiam
dalam bisu yang luruh
rindu akan ramai yang kemarin
sementara preman-preman
dan bromocorah bertato
sengguk menangis

dalam gelimang bau spritus dan mulut berbusa
tak ada lagi kini, peluit parkir
tak ada lagi kini, jerit minggir-minggir
kuli angkut barang
lantang meminta jalan
lalu apa ?

sementara doa-doa tak lagi makbul
dan bau kemenyan dukun
tak mampu mengundang pembeli
pasar mati pagi ini
teronggok tak berkubur
menunggu harapan kian mengabur
terhisap bangunan-bangunan tinggi "makmur"
sialan !
tak ada lagi obyekan.

fa, 28092011

Pasar ,Mati Pagi ini !, merupakan sebuah puisi Arif , yang hadir di BMK ,dan memuat nama saya di belakang judulnya . Busyettt ! , embel-embel itu pula, yang menyebabkan saya,merasa harus menulis ulasan ini , untuk sekedar tidak disebut , manusia yang tak kenal rasa terima kasih …he he he !!.

Seperti telah diulas dimuka ,pada puisi ini , Arif sudah meninggalkan “Sikap melankolisnya” melepaskan diri dari tema cinta ,( walau mungkin hanya bersifat sementara ?).Pasar ,Mati Pagi Ini !, memuat tema Sosial , walau suasana yang diciptakannya masih terasa “ bernuansa sendu” cukup kontradiktif dengan bagaimana Rendra berteriak secara langsung lewat puisi-puisi Pampletnya seperti tergambar jelas  dalam kumpulan puisinya “ Potret Pembangunan dalam Puisi “. Namun mungkin ,justru gaya ini pula lah yang tengah di bangun Arif , bukankah kritik tak selamanya mesti diungkapkan dengan Urat leher yang menegang ?  Atau bisa juga ,Arif belum bisa sepenuhnya menghilangkan tradisi lembut dari “Seorang Priyayi Solo “ yang telah menelikung jiwanya bertahun-tahun ! ( he he !!).

Mengamati bangun struktur puisi yang dibentuknya , ada sebuah benang merah yang tak terpisahkan antara “Pasar ,Mati Pagi ini “ dengan puisi sosial sejenisnya yang dia tulis beberapa waktu yang lalu yaitu “ Secangkir Kopi Jakarta Yang Telengas “. Dimana bait –bait puisi seolah sengaja terangkai dalam tatanan yang sama , bermula dengan  kesan umum  terhadap tema yang diangkat ( Bait 1 ) , illustrasi-illustari tambahan yang membuat pembaca lebih terperangkap masuk dalam suasana  yang di bangunnya ( bait 2 dan 3 ), pengungkapan fakta-fakta social yang terjadi sebagai konsekwensi dari adanya hubungan kasualitas ( bait 4 ), Pertanyan-pertanyaan  Retoris , yang kian membuat pembaca larut dalam topik permasalahan ( bait 5 ) ,dan Bait terakhir ( Bait 6 ) ,mengakhirinya  dengan Kesimpulan , yang memberikan setumpuk pekerjaan rumah bagi pembaca untuk kembali mengunyah dan memamah terhadap amanat yang dititipkan sang penulis .

Fenomena tergusurnya ribuan pasar tradisonal yang tersebar diseantero negeri ini ,memang bukanlah pemandangan yang baru .Hal ini sudah terjadi sangat lama , seiring dengan semakin “mesranya” hubungan dunia Industri kita dengan “Faham Kapitalis dan Liberalisme “. Tapi anehnya Kebijakan yang sangat kontradiktif dengan kepentingan kaum marjinal ini , seolah-olah luput dari perhatian banyak fihak.padahal  tak dapat dipungkiri tergerusnya pasar-pasar tradisonal tersebut tidak saja telah membumi hanguskan mata pencaharian para kaum pedagang bermodal kecil , namun juga telah memotong urat hidup sebuah system peradaban yang yang telah lama menjadi jati diri Bangsa kita.

Menjadi menarik memang, ketika Arif Feriyanto , lantas jatuh cinta dan tergerak untuk mengangkat tema social ini dalam sajaknya “ Pasar,Mati Pagi Ini “  ketajaman “mata elangnya” ,untuk mencoba memahami situasi kaum marjinal , merupakan sebuah oase di tengah ketidak kepedulian para penyair lainnya  yang terlanjur  lebih gemar memotret tema-tema “Spektakuler “  yang menarik untuk menjadi bahan polemik tak berkeputusan di berbagai media masa.

Hanya sepi memagut //dari lorong-lorong gelap kumuh//dan cicit-cicit tikus//kurus lemah gontai berjalan tak tentu //lapak-lapak tunduk terdiam//dalam bisu yang luruh//rindu akan ramai yang kemarin//

Betapa apik ,feri memilih diksi ,dibait pertama dan keduanya , yang langsung menyergap hati pembaca  untuk masuk dalam  suasana “Sendu”,tentang sebuah pasar tradisonal yang di paksa hilang ,untuk sebuah maksud yang tak sempat dimengerti oleh mereka yang selama ini menggantungkan hidup dan nasib kepadanya.Tak ada satu katapun dalam bait ini,yang mengekpresikan adanya suatu bentuk perlawanan terhadap sikap kesewenang-wenangan  yang menimpa mereka .Mereka hanya mampu mengungkapkan sebuah kata rindu ,//rindu akan ramai yang kemarin // ,sebuah kalimat ,berisi harapan yang memang menggambarkan suatu sikap ketidak berdayaan yang sempurna.

Sementara preman-preman//dan bromocorah bertato//sengguk menangis//dalam gelimang bau spirtus dan mulut berbusa// tak ada lagi kini peluit parkir//tak ada lagi kini jerit minggir-minggir//kuli angkut barang//lantang meminta jalan//

Di bait yang ketiga dan ke empat ini , Arif ..seperti sedang menghidangkan serangkain fakta ,tentang betapa banyak ragam manusia marjinal  yang dengan terpaksa ,harus rela  memutuskan urat nadi kehidupannya .( Baca : Tanpa Mampu mengadakan sebuah perlawanan !).Diksi yang dipilih penulis ,sangat terjaga , itu ,semua itu benar menggambarkan manusia-manusia yang tak berdaya .Hanya menumpang menyambung kehidupan pada eksistensi pasar , dengan mimpi-mimpi yang teramat bersahaja .

Lalu apa?//sementara doa-doa tak lagi makbul//dan bau kemenyan di luar//tak mampu mengundang pembeli//Pasar ,mati pagi ini//teronggok tak terkubur//menunggu harapan kian mengabur//terhisap bangunan-bangunan tinggi makmur//.

Kepada siapa sebetulnya ,arif bertanya ? , ketak adaan obyek yang ditanya, kian memperjelas ,tentang betapa tak ada satu lembaga pun yang mau perduli tentang fenomena yang terjadi .Bahkan doa pun sebagai satu-satunya senjata bagi para kaum tertindas , seolah dengan tegas di sangsikan tuahnya . Keadaaan pasar yang dilukiskan penulis dengan kalimat // teronggok tak terkubur // sungguh sangat dalam maknanya , karena kalimat itu merefleksikan betapa Sang Penguasa telah demikian tega , membiarkan mereka hidup dalam sebuah “ ketidak pastian” yang menakutkan .

// Sialan// tak ada lagi obyekan //, sebuah baris penutup, khas Arif , yang mencoba menyederhanakan masalah , dalam balutan kalimat-kalimat satire yang  sedikit “Nyleneh”,Namun  justru  semakin lebih membuat dalam  luka sayatan yang ada dalam hati .

Cimahi , 28 September 2011

 

 
Start blogging by creating a new post. You can edit or delete me by clicking under the comments. You can also customize your sidebar by dragging in elements from the top bar.